Manado, – Personel Intel TNI AD Kodim 1303 Bolaang Mongondow (Bolmong), Frangky Nento, angkat bicara dan melayangkan bantahan keras terhadap pemberitaan sejumlah media yang menyebut dirinya mengaku sebagai anggota Badan Intelijen Negara (BIN).
Dalam pernyataan terbuka yang disampaikan Senin malam di sebuah rumah kopi di Manado, Nento menyatakan kegeramannya atas tuduhan tersebut. Ia merasa nama baik dan integritasnya tercoreng oleh informasi yang menurutnya tidak pernah ia sampaikan.
“Terus terang saya marah dan geram. Saya tidak pernah mengatakan bahwa saya anggota BIN. Kalau saya salah, tulis saja kesalahan saya. Tapi jangan menulis sesuatu yang tidak pernah saya ucapkan,” ujar Nento dengan nada tegas.
Nento bahkan menantang siapa pun yang bisa membuktikan bahwa ia pernah mengaku sebagai personel BIN.
“Silakan buktikan! Kalau ada yang bisa membuktikan saya mengaku BIN, saya akan bayar. Bicara soal BIN saja tidak pernah, apalagi mengaku-ngaku,” tambahnya.
Terkait pertemuannya dengan wartawan berinisial MRN alias Nasution di Swiss-Belhotel Manado, Nento membantah tudingan bahwa dirinya menjebak wartawan tersebut. Ia menyatakan hadir dalam kapasitas membantu seseorang yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media.
“Saya hanya mendampingi dan memberikan informasi yang benar. Tidak ada jebakan. Justru saya berusaha meluruskan informasi karena orang yang saya dampingi dituduh bermain tambang ilegal tanpa bukti dan konfirmasi,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut bukan kali pertama. Sebelumnya, mereka sudah pernah bertemu di wilayah Bolmong.
“Kami sudah kenal, jadi wajar kalau memutuskan untuk bertemu langsung,” ujarnya.
Mengenai keterlibatan pihak kepolisian yang sempat mengamankan MR Nasution pada Minggu siang, Nento menegaskan bahwa hal tersebut bukan penangkapan, melainkan bagian dari tugas aparat dalam menjaga situasi agar tetap kondusif.
“Polisi hadir karena ada situasi yang butuh pengamanan. Tidak ada penangkapan. Tapi memang ada ketidakadilan dalam pemberitaan yang membuat pihak tertentu merasa diserang secara sepihak tanpa diberi ruang klarifikasi,” terangnya.
Nento menilai bahwa kondisi tersebut menimbulkan persepsi seolah-olah pihaknya bersalah, padahal yang terjadi justru sebaliknya.
“Ibaratnya kita sedang tidur, lalu dipukul. Begitu kita membela diri, malah kita yang dikondisikan mengikuti kehendak si pemukul. Ini tidak adil,” tandasnya.
Di tempat terpisah, Plt Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Utara, Vanny Loupatty, menilai insiden ini sebagai peringatan penting bagi para insan pers untuk tetap menjunjung profesionalitas dan integritas.
“Kalau ini disebut investigasi, ya harus dijalankan dengan metodologi investigasi yang benar. Bukan setengah-setengah lalu di-take down. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi dunia jurnalistik,” ungkap Loupatty, yang akrab disapa Maemossa.
Ia menambahkan bahwa wartawan harus siap mempertanggungjawabkan setiap karya jurnalistik yang dipublikasikan.
“Jurnalistik menjadi hina bila hanya untuk menampar sejenak lalu menghilang. Mari bangun jurnalisme yang fair, profesional, dan bermartabat,” tutupnya.
Tinggalkan Balasan