Advertisement

Ferry Liando: Putusan MK Buka Peluang Semua Parpol Ajukan Calon Kepala Daerah

Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dinilai membawa dampak besar terhadap sistem politik dan kepemiluan di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Ferry Daud Liando, pakar kepemiluan dari Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD), yang menyoroti sejumlah konsekuensi serius pasca putusan tersebut.

Liando menyebut, salah satu pesan tersirat dari putusan MK adalah penolakan terhadap wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Menurutnya, jika Pilkada dan Pemilu DPRD dilaksanakan secara bersamaan, maka peluang kepala daerah dipilih oleh DPRD otomatis tertutup.

“Jika Pemilu DPRD dan Pilkada dilakukan di hari yang sama, legitimasi rakyat sudah diberikan secara langsung. Ini menutup celah pengembalian Pilkada ke DPRD,” jelas Liando, Jumat (28/6).

Konsekuensi lain yang mencuat adalah soal masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2024. Jika pada 2029 tidak ada Pilkada, maka kepala daerah yang terpilih tahun ini berpotensi menjabat hingga tahun 2031.

Namun jika masa jabatan tetap 5 tahun, maka kekosongan jabatan kepala daerah selama dua tahun akan diisi oleh penjabat (Pj), yang dikhawatirkan akan mengurangi legitimasi demokratis.

Situasi serupa berpotensi terjadi di lembaga legislatif daerah. Anggota DPRD hasil Pemilu 2024 diperkirakan bisa menjabat selama 7 tahun 6 bulan jika tidak ada Pemilu DPRD pada 2029.

Jika masa jabatan hanya dibatasi 5 tahun, maka DPRD akan kosong, padahal tidak ada mekanisme pengangkatan Pj legislatif sebagaimana di eksekutif.

Liando juga menyoroti dampak terhadap aturan pencalonan di Pilkada. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mensyaratkan partai atau gabungan partai hanya dapat mencalonkan kepala daerah jika memperoleh ambang batas suara tertentu di pemilu.

Namun, jika Pilkada dan Pemilu DPRD digelar bersamaan, maka hasil pemilu belum tersedia saat pendaftaran calon, sehingga ambang batas suara tidak dapat diterapkan.

“Artinya, semua partai peserta pemilu berpotensi bisa mengajukan pasangan calon. Jika ada 10 partai, maka bisa muncul 10 pasangan calon kepala daerah,” kata Liando.

Dampak lainnya adalah pada posisi politik incumbent. Banyak kepala daerah petahana yang masa jabatannya akan habis sebelum Pilkada berikutnya. Mereka akan digantikan oleh Pj, sehingga kehilangan kewenangan dan pengaruh politik menjelang masa pencalonan kembali.

“Kewenangan untuk memobilisasi pemilih, mengarahkan ASN, dan menetapkan kebijakan elektoral akan hilang karena mereka tak lagi menjabat saat maju dalam kontestasi,” pungkasnya.

Putusan MK ini, menurut Ferry Daud Liando, perlu disikapi secara hati-hati karena membawa dampak sistemik terhadap tata kelola demokrasi lokal dan perimbangan kekuasaan antar lembaga.

Tinggalkan Balasan